Senin, 29 November 2010

Justifikasi Bunga Bank Dan Jawaban Fuqoha

Oleh : KH. Mukhlas Hasyim, MA*
Mengangkat kembali polemik Bunga Bank memang merupakan pekerjaan mengulang-ulang sesuatu yang sudah jelas hasilnya, yakni dua pendapat yang berseberangan dengan alasan masing-masing yang mungkin tidak berubah. Namun demikian, hal yang sudah jelas ini, barangkali tetap relevan untuk dipelajari di tengah masyarakat yang semakin tinggi tingkat keingintahuannya tentang segala hal dan semakin tidak mudah untuk mengikuti dan pasrah kepada sebuah fatwa agama tanpa mengetahui landasan-landasannya. Sejak tahun 1965, lembaga Riset dan Kajian Keislaman di Kairo dan kemudian disusul
oleh Lembaga Fiqh Islam negara-negara OKI di Jeddah dan Rabithah Alam Islami di Mekkah telah melakukan kajian mendalam tentang bunga bank dalam prespektif syari’ah. Hasilnya ialah keluarnya fatwa dari masing-masing lembaga tersebut yang menetapkan keharaman bunga bank. Ketetapan yang sama juga diambil oleh beberapa Halaqah, Seminar dan Konferensi diantaranya Konferensi Internasional Ekonomi Islam di Mekah pada tahun 1972. Di pihak lain, beberapa kalangan – sebagian besar tidak berlatar belakang pendidikan Syari’ah – tetap menganggap tidak ada yang menyalahi aturan agama dalam sistem bunga bank sehingga tidak perlu dipersoalkan.
Di bawah ini kutipan pendapat serta argumentasi dua kelompok, kelompok pro bunga bank (selanjutnya disebut KP) dan kelompok kontra bunga bank (selanjutnya disebut KK) dalam beberapa point penting yang membuat keduanya berseberangan. Dan beberapa point ini berputar pada apakah bunga bank tergolong riba atau tidak.
1. Unsur Kezaliman ( pemerasan ).
KP mengatakan bahwa keharaman riba tidak lain disebabkan karena adanya unsur pemerasan dari yang kaya terhadap yang miskin. Hal ini dapat dilihat ketika Al Qur’an membuat riba berhadapan dengan shodaqoh yang merupakan kebalikannya (Q.S. Albaqarah 280). Sehingga riba yang diharamkan adalah riba konsumsi bukan riba produksi. Sementara dalam bunga bank sama sekali tidak ada unsur pemerasan, bahkan sebaliknya, yakni adanya kerjasama dan saling membantu apalagi bila yang menerima bunga adalah rakyat kecil yang menyimpan uangnya di bank. Dengan demikian bunga bank tidaklah tergolong riba yang dilarang karena tidak ada unsur kezaliman di dalamnya bahkan masing-masing pihak merasa diuntungkan.
Menjawab alasan ini KK mengatakan bahwa di masa jahiliyah riba yang berlaku adalah untuk membiayai perdagangan seperti yang dilakukan oleh Abbas bin Abdul Mutholib r.a. dan bukan untuk konsumsi orang-orang miskin. Al Qur’an menempatkan riba tidak hanya berhadapan dengan sedekah tetapi juga berhadapan dengan jual beli (Q.S. Albaqarah 275). Disamping itu seandainya riba dilarang hanya karena adanya pemerasan kenapa Nabi SAW mengutuk bukan hanya penerima riba tetapi juga pemberi, pencatat dan juga saksi-saksinya bahkan Nabi menganggap mereka adalah sama (H.R. Muslim). Kenapa pemberi sebagai pihak yang diperas ikut dikutuk ? KK mengatakan bahwa alasan (ilat) diharamkannya riba bukanlah pemerasan. Pemerasan memang ada tetapi hanya dalam salah satu dari beberapa jenis riba. Adapun alasan sebenarnya ialah bahwa uang tidak dapat melahirkan uang tanpa di barengi dengan pengelolaan atau pendayagunaan (usaha). Dan setiap pengelolaan uang pasti mengandung dua kemungkinan, untung dan rugi karena tidak ada satupun di dunia ini yang dapat dijamin keselamatan dan keutuhannya. Sehingga simpanan di Bank yang di jamin utuh atau bahkan beruntung jelas itu bukanlah suatu pengelolaan uang.
2. Kategori Lipat Ganda
Salah satu hal yang dikemukakan oleh KP adalah bahwa yang diharamkan Al Qur’an ialah riba yang berlipat ganda yang mengeruk keuntungan besar dari peminjam dan mencekiknya. Ini didasarkan pada ayat 130 surat Ali Imran. Adapun bunga bank yang berkisar antara sepuluh atau dua puluh persen jelas tidak dapat dikategorikan berlipat ganda dan tidak masuk dalam larangan ayat di atas..
Menjawab dalil ini KK mengatakan bahwa kata-kata “adl’afan mudla’afah” dalam ayat tersebut tidak mengandung pemahaman balik (mafhum mukhalafah). Kata-kata itu hanya seperti ungkapan :” berantaslah narkoba yang menghancurkan bangsa”, semua orang tidak bakal memahami ungkapan ini bahwa narkoba yang tidak sampai batas menghancurkan bangsa tidak perlu diberantas. Sebab ungkapan tersebut hanya untuk menggambarkan sifat narkoba yang memang dapat menghancurkan (libyan al waqi’).
Untuk memastikan bahwa “ adl’afan mudla’afah “ tidak ada pemahaman baliknya, pada ayat lain Al Qur’an menjelaskan bahwa orang yang bertaubat dari riba hanya boleh mengambil sebatas modalnya (pinjaman yang diberikan) tidak boleh lebih dari itu (Q.S. Albaqarah 279). Dengan demikian sekecil apapun jumlah riba (penambahan) tetap tidak diperkenankan.
Disamping itu, kalau kata “ adl’afan “ difahami secara harfiah maka riba yang dilarang adalah yang berlipat minimal 600 % sebab kata “ adl’af ” adalah jama’ dari dli’f dan jumlah minimal jama adalah tiga sehingga kalau dli’f berarti lipat dua (200%) maka adl’af menjadi lipat enam (600%). Jika ini diterapkan maka tidak ada satupun riba di atas bumi ini.
3. Penentuan Laba di Depan
KP juga mengatakan bahwa bunga adalah bagian dari laba bank yang diberikan kepada nasabah atau sebaliknya. Sebagai lembaga pengelola dana yang profesional, bank hampir tidak mungkin merugi sehingga ia mampu menentukan labanya sebelum dana diputar kemudian menyepakati pemberian bagian dari labanya itu kepada nasabah. Sementara larangan menentukan laba di depan kepada pemodal hanyalah hasil pemikiran dan ijtihad para Ulama terdahulu dan tidak ada nash (Qur’an, Hadist) yang jelas-jelas melarang hal tersebut.
Untuk menjawab argumen di atas KK mengatakan bahwa seolah-olah kita tahu tentang peran dan fungsi perbankan. Bank bukanlah pengusaha yang menanamkan modalnya secara langsung pada sektor-sektor perdagangan, perindustrian dll. Bank hanyalah mediator antara pemilik dana (masyarakat) dan sektor usaha, ia menggalang dana masyarakat melalui instrumen-instrumen tertentu dengan tingkat bunga tertentu kemudian meminjamkannya ( kredit ) kepada pihak yang membutuhkan (sektor usaha/riil) dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Selisih bunga antara penggalangan dana (fanding) dan penyaluran (landing) inilah yang menjadi pendapatan dan keuntungan bank. Jadi jelaslah bahwa pendapatan bank bukanlah laba dari usaha tertentu melainkan bunga dari kredit yang disalurkan. Seandainya benar-benar bank memutar dananya secara langsung (mudlarib) dan nasabah adalah pemodal (rabbul mal), seandainya demikianpun tetap tidak dibolehkan menentukan laba di depan. Dan ketidakbolehan ini tidaklah semata-mata pendapat ulama melainkan larangan langsung dari Nabi SAW. kepada orang-orang yang menyewakan ladangnya dengan meminta bagian-bagian tertentu dari hasil ladang tersebut (H.R. Bukhori Muslim). Apalagi dalam akad mudlarabah) tidak ada jaminan keutuhan dana pemodal apalagi jaminan keuntungan karena bertentangan dengan prinsip “ Alghurmu bil ghunmi “ atau “ Alkharaj bi adlaman “ (keuntungan selalu bergandengan dengan resiko).
4. Pengganti Inflasi
Alasan lain bagi KP ialah penurunan nilai uang akibat inflasi sehingga bunga sebenarnya hanyalah pengganti dari penurunan nilai tersebut karena tidak mungkin satu juta rupiah tahun ini akan sama dengan satu juta rupiah tahun depan.
Dalam hal ini KK mengatakan bahwa pembayaran utang dengan berdasar nilai utang tersebut hanya dapat dilakukan apabila suatu mata uang jatuh nilainya secara tajam seperti yang dialami pada krisis moneter. Dalam kondisi seperti ini uang dapat dianggap sebagai komoditas, dan pembayaran utang didasarkan pada kurs uang tersebut di hari pembayaran. Itupun hanya menurut sebagian fuqoha. Sedangkan ketika penurunan nilai masih dalam batas-batas yang wajar fuqoha sepakat bahwa pembayaran utang tetap harus berdasarkan nominalnya. Selain itu, penentuan tingkat suku bunga tidaklah selalu berdasar pada tingkat inflasi. Dan kalau nilai mata uang yang menjadi standar mengapa tidak diterapkan hal yang sama jika uang mengalami peningkatan nilai (deflasi) ? dan mengapa pula mata uang yang nilainya stabil seperti US dolar tetap saja dikenai bunga ? Jelaslah persoalannya bukanlah penurunan atau penambahan nilai melainkan prinsip “penambahan nilai piutang yang ditetapkan sebelum dibayar (Az ziyadah al masyruthah fi ashli addain)” yang menjadi tulang punggung perbankan konvensional sejak berdirinya sampai sekarang. Dan inilah yang tidak diperkenankan agama
* Pembina Pon. Pes Al Hikmah 2 (Benda Sirampog Brebes)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar