Senin, 29 November 2010

Sufisme Dan Kebangkitan Nasional

Oleh DR. KH. Ahmad Najib Afandi*

Prolog
Kebangkitan nasional kini menjadi tema utama pemerintah dalam upaya membangun dan mengukuhkan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat dan bangkit dari segala malapetaka dan keterpurukan dalam berbagai hal. Jargon itu bukan tanpa dasar sejarah, tujuan dan cita-cita mulia. Karena meliaht sejarah dan cita-cita proklamator Indonesia adalah Negara yang besar dan kaya dengan alam dan sumberdaya insani. Namun semua itu kini telah sirna dan beralih tangan investor. Sehingga kebangkitan yang digembar-gemborkan pemerintah saat ini hanya akan menjadi keniscayaan jika prosesnya tidak dibarengi dengan propfesionalisme insani lahir dan batin. Kebangkitan yang menjadi harapan semua bangsa dan rakyat tidak akan pernah terwujud tanpa memaknai kembali sejarah-sejarah sebelumnya dan menekankan kewajaran pembangunan mental, spiritual, social budaya, ekonomi dan politik yang seimbang.
Kehancuran dan kesuksesan sebuah Negara telah tertulis tinta emas sejarah yang keduanya cukup untuk kita jadikan cermin kebangkitan nasional yang sedang kita garap. Melihat pilar-pilar reaktualisasi kebangkitan Indonesia ala SBY sekarang ini, menurt hemat kami, belum menyentuh substansi dan unsur-unsur kebangkitan Negara yang sesungguhnya. Sehingga kebangkitan nasional hanya akan menjadi impian, karena rapuhnya faktor-faktor irasionil seperti keikhlasan, taqwa dan jujur serta sifat terpuji lainnya, dalam jiwa-jiwa penggerak roda bangsa. Untuk itulah sudah saatnya kita mereaktuaalisasikan nilai-nilai sufisme yang sarat dengan nilai-nilai moral, kemanusiaan yang rasionil maupun irasionil, walaupun tasawuf oleh sebagian orang dianggap tidak relevan dan kedudukan tasawuf sendiri masih dalam posisi “tergugat”. Tapi sejarah Negara Makkah dan Madinah serta peradaban modern telah membuktikan kesuksesan reaktualisasi nilai-nilai sufisme dalam membangkitkan dan membangun sebuah bangsa yang telah binasa.

Tasawuf: Reaktualisasi Agama, politik dan budaya. Jika tasawuf adalah ahlak. Maka, segala bentuk usaha pembentukan karakter dan sifat dan pribadi yang luhur dan mulia baik dihadapan manusia maupun Allah adalah tasawuf dan orangnya adalah sufi. Maka, apapun komentar ulama tentang definisi tasawuf bukanlah sebuah kesalahan dan perbedaan yang terjadi diantara mereka. Justru perbedaan itu menunjuka pluralisme yang tanpa batas dan elastisisme tasawuf, karena tasaawuf adalah balanc dari keadaan kehidupan manusia dari masa kemasa. Sehingga norma-norma tasawuf selalu berubah sesuai kondisi dan situasi masyarakat dan kehidupannya.
Jika tasawuf muaranya adalah ahlak atau pembentukan ahlak manusia, maka adakah relasinya antara tasawuf dengan Agama, politik dan budaya sehingga tasawuf benar-benar punya persambungan dan peran mutlak dalam mengisi kebangkitan nasional? Bukankah tasawuf itu bagian daripada Islam, lalu apa hubungannya dengan politik dan budaya? Tesis ini akan mencoba menyambungkan tiga hal tersebut, sehingga lahirlah jawaban bahwa tasawuf memiliki kebenaran dasar dan peran dalam mengisi kehidupan sekaligus membuktikan bahwa kehidupan ini akan hancur jika lepas dari nilai-nilai sufsime.
Jika tasawuf adalah bagian daripada ajaran Islam yaitu ahlak yang menjadi dasar kerasulan Nabi Muhammad SAW. Seperti yang ia katakana: “Sesungguhnya Aku diutus hanya untuk menyempurnakan ahlak”. Lalu dimana posisi tasawuf dalam beragama? Beragama (memahami dan menjalankan syariat Islam secara utuh) adalah formalitas kepribadian muslim selama hayat masih di kandung badan yang tidak boleh sedikitpun ditinggalkan atau dilupakan. Karena semua itu adalah aplikasi kepribadian muslim yang taat dan tunduk kepada sang pencipta. Beragama (Islam) yang berarti paham, mengerti dan patuh adalah sebuah bukti ketulusan hati (iman) dalam menjalankan perintah dan kewajiban sebagai seorang hamba, termasuk dalam menjaga kelestarian dan perdamaian dunia. Maka, secara formalitas mereka yang selalu melakukan kewajibannya adalah muslim yang taat. Dan secara realitas komitmen seperti itu akan melahirkan nilai-nilai plus dalam membentuk kepribadian dan kultur dan budaya sekitarnya. Seperti sholat mislanya yang Allah sampaikan kepada kita semua “Sesungguhnya sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar” (QS: 29/45). Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya.
Namun ketika kembali kepada realita kehidupan dan rutinitas muslim yang tidak pernah sepi dari formalisasi ibadah dengan berbagai jenis dan kegiatannya baik yang wajib maupun yang sunah juga yang bid’ah mahmudah, ternyata belum mampu memberikan bukti efektifitas ibadah sebagai ruang pembentukan peribadi dan ahlak yang luhur dan mulia. Maka timbulah pertanyaan : Kenapa banyak orang sholat tapi sebanyak itu pula yang melakukan kejahatan baik yang ringan maupun yang berat? Apa Al Qur’an-nya yang salah atau orangnya? Atau mungkin juga karena faktor lain? Al Qur’an salah dalam memberikan informasi sangat tidak mungkin. Maka, persoalannya tentu ada pada pelaksanaan dan pelakunya (kita), apa itu?
Orang boleh jadi paham dan mengerti syarat dan rukun ibadah begitu juga pola pelaksanaannya, tapi masih sedikit yang paham bahwa dalam pelaksanaan ibadah ada aturan lain yang bisa mengangkat atau menghilangkan nilai ibadah yang kita lakukan. Ketika fikih hanya berbicara lahiriyah ibadah (syarat dan rukun), maka tasawuf akan berbicara dari sisi dalam (hati) kita yang melakukannya. Karena apa yang kita lakukan sekalipun tepat dengan aturan fikihnya serta dihukumi sah dan mendapatkan pahala, tapi belum tentu semua orang yang melakukannya dapat membuktikan diri sebagai orang yang berhasil merasakan/mendapatkan nilai plus ibadah yang dilakukannya, seperti yang Allah maksudkan. Karena banyak praktikum dan ritual keagamaan yang kita laksanakan tapi tidak dibarengi dengan ahlak baik kepada diri sendiri, orang lain juga kepada Allah. Dari sini sangat jelas bahwa tasawuf (ahlak) memiliki peran besar dalam meraktiualisasi Agama dan prilaku penganutnya sehingga Agama benar-benar tegak dan memberikan bukti nyata dalam kehidupan manusia dan lingkungannya.
Jika nilai-nilai susfisme telah tereaktulisasikan dalam beragama dengan baik, maka sudah pasti sekecil apapun ibadah yang kita lakukan akan memberikan nilai positif dalam membentuk pribadi yang luhur dan saleh. Sehingga setiap langkah dan perbuatan orang yang beragama (Islam) akan selalu mencerminkan semangat kebenaran, kejujuran, kesalehan dan “sosialisme” serta jauh dari tindakan indisipliner dalam bertindak maupun berpikir. Maka, jika hal ini terwujud dalam kehidupan kita niscaya carut-marut kehidupan politik, ekonomi, pendidikan dan sosial Indonesia akan segera terhenti lalu terciptalah kemesraan hidup antar golongan, kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan kesejahteraan hidup. Sehingga bangsa ini akan segera bangkit dar tidurnya, rakyat-pun kembali sejahtera?
Selanjutnya jika segala sistim kehidupan telah terkatrol dengan nilai-nilai agama dan semangat sufisme, artinya pelaksanaan rutinitas ibadah kita telah tertata secara baik lahir dan batin, maka akan lahirlah manusia-manusia penghuni dunia yang saleh dan disiplin hukum, teguh pendirian dan komitmen/ihlas karena Allah dalam setiap pengabdiannya. Dengan demikian, maka terciptalah komunitas yang ahlaqi yang bisa menjaga dunia dan memanusiakan manusia secara utuh. Hancurnya kehidupan dan tatanan dunia saat ini sesungguhnya adalah akibat inkonsistensi hukum dan indispiliner kita dalam menjaga kemuliaan agama dan kesakralan janji kita kepada Allah sebagai seorang muslim yang taat. Dan semua itu adalah akibat hilangnya ahlak para sufi dalam hati kita. Itulah kesimpulan makna ucapan pujangga besar Arab, Ahmad Syauqi: “Suatu bangsa akan kuat dan jaya ketika masih memiliki ahlak dan akan hancur jika tidak lagi berahlak”.
Peran Tasawuf: Kajian sejarah kebangkitan nasional.
Banyak orang salah persepsi dengan tasawuf mereka menganggap tasawuf sebagai paham dan komunitas pinggiran yang samasekali tidak memiliki nilai dan peran dalam bernegara dan bermasyarakat. Penilaian itu samasekali tidak berdasar baik tekstual maupun kontekstual. Secara tekstual tasawuf sangat jelas disebut dan dijelaskan baik dalam ayat maupun hadist dan pendapat para ulama. Diantara ayat yang menjelaskan posisi dalam Islam dan peran tasawuf dalam kehidupan manusia, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ. (التوبة 119)
Imam Al Qusyaeri dalam tafsirnya mengatakan bahwa suhbah (berkumpul) dengan orang saleh lagi jujur iman dan amalnya dalam doktrin tasawuf adalah keharusan yang dapat membantu membentuk pribadi yang luhur dan berahlak. Dan hal itu termasuk usaha menjaga kesinambungan kekuatan iman dalam hidup sehingga kita mampu menjadikan diri kita untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka, jika situasi Indonesia banyak didominasi orang-orang yang berilmu tapi tidak berahlak, sehingga apa yang terjadi saat ini adalah bukti bahwa bangsa Indonesia membutuhkan peran orang saleh yang ikhlas.
Dan Allah berfirman:
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا (16) لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا(17) سورة الجن
Rasulullah bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ بِشْرِ بْنِ مَنْصُورٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ السَّوَّاقُ قَالا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَاد. سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 50)
Ayat dan hadist di atas menjelaskan betapa rapuhnya ini hdiup dan kehidupan ini jika tidka didasari dengan sunah Rasul dan para sahabatnya. Diantara sunah-sunah itu telah diajarkan dan diaplikasikannya oleh Rasulullah dan para sahabatnya, yaitu kehidupan yang ahlaqi dalam mencari Ridla Allah SWT. Pola dan tata cara kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya dalam menjaga keseimbangan dunia dan akhirat itulah yang kemudian kita sebut dengan tarikat (sunah). Ini artinya bahwa tasawuf telah ada sejak Islam datang.
Dan berikut bukti-bukti konstektual dari pengakuan para ahlinya tentang peran tasawuf dan tarekat dalam mengisi kebangkitan dunia sejak beberapa abad yang lalu. L.Masignon dalam bukunya Essai sur Les origins lexique technique de la mystique musulmane, mengatakan: Dengan metode tasawuf, menurut Imam Al Ghazali, Islam bisa hidup. Karena para sufi telah memposisikan dirinya sebagai dokter yang bisa menyelamatkan jiwa-jiwa yang rusak dan menghidupkan hati yang telah mati. Itu karena para sufi, seperti kata Harits al Muhasabi dalam kitabnya Al Mahbbah, telah memiliki kemampuan melihat dan membaca kejadian secara otodidak berkat ilmu hikmah yang Allah berikan sehingga mereka bisa mengahsilkan pemikiran cemerlang yang bisa menjadi “resep” kehidupan manusia yang jitu. Al Qusyaeri dalam Al risalah membuat kesimpulan yang sama bahwa Tasawuf bukan sekedar istilah yang sangat indah dan membingungkan orang “sakit”, justru ia datang sebagai obat yang telah dibuktikan kemanjurannya oleh mereka sendiri sebelum diberikan kepada orang lain. Begitu juga Abu Husen An Nuri berkata sama: “Tasawuf bukan teks ilmu yang hanya cukup untuk dipelajari dan diajarkan, tapi ia adalah ahlak kehidupan”. Al Hallaj sesaat sebelum dieksekusi ketika ditanya tentang makna tasawuf itu? Ia menjawab: “Seperti yang anda lihat!”. Artinya lihatlah aku bagaimana memperjuangkan kebenaran dengan tidak membeda-bedakan golongan, walaupun harus mati digantungan. Karena itulah ketika berdo’a di Arafah, ia berdo’a untuk semua orang tidak saja untuk orang Islam. Itulah pluralisme dan sosialisme Tasawauf, yang tidak pernah kita temukan dalam partai politik.
Dari tesis singkat di atas dapat kami simpulkan bahwa tasawuf memiliki eksistensi besar dalam menata kehidupan karena ia datang sebagai obat segala penyakit kehidupan manusia yang telah ada atau yang menular dari orang-orang jahat. Dan itu sangat realistis dengan situasi saat ini, karena semua metodologi dan konsep formal politik, sosiologi, ekonomi dan pendidikan belum berhasil membangkitkan keterpurukan Negara dan dunia. Lalu apa bukti eksistensi dan keberhasilan kaum tarekat dalam membangkitkan sebuah Negara dan masyarakat yang telah hancur binasa?
Berikut kesaksian L.Masignon seorang orientalis yang samasekali tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam: “Sesungguhnya keberhasilan perdamaian yang dibawa Islam di India bukan karena peperangan, tapi karena kearifan kaum tarekat seperti: Al Jastiyah, Al Kubrawiyah, Al Satariyah dan Naqsabandiyah. Ketika terjadi pertikaian antara dua Agama yang berbeda dan tidak bisa diselesaikan oleh siapapun tapi kahirnya berkahir dengan perdamaian karena peran kaum tarekat-tarekat di atas yang ikhlas tidak pernah mengharapkan imbalan apapun. Demikian juga dengan perdamaian dan kebangkitas Islam di benua Afrika seperti Sinegal, Nigeria, Ghana dan Tchad semua tidak lain karena tarekat-tarekat yang ada seperti Tijaniyah, Sanusiyah dan Sadziliyah. Karena masyarakat setempat telah menjadikan Rubat atau Zawiyah para sufi sebagai kajian dan pengembangan metodologi bermasyarakat, berpolitik dan bernegara yang damai dan sejahtera dalam komunitas Kristen”.
Demikian halnya jika kita kembali kepada sejarah kebangkitan nasional yang ditandai dengan kemerdekaan dari penjajah dan kebangkitannya, juga tidak lain karena keberhasilan peran para sufi Nusantara dan para ulama Pesantren dengan tarekat dan Pesantrennya. Seperti pergolakan Revolusi Petani di Banten pada tahun 1918 M dalam melawan Belanda dibawah komando ulama dan Kiyai tarekat Naqsabandiyah. Begitu juga dengan perlawanan Kiayi Soleh Darat dengan para santrinya di Semarang. Belanda ketakutan dengan peran dakwah Kiyai Soleh Darat melalui karya-karya Ahlaqi-nya sehingga mereka menganggap Kiayi Soleh adalah pembangkang karena keberhasilannya mendoktrin masyarakat sekitar dengan ajaran Islam dan tasawuf Ahklaqi untuk memusuhi penjajah. Maka terjadilah sweping dan pelarangan peredaran karya-karya Kiyai Soleh Darat. Begitu juga dengan tarekat dan Kiyai yang lain yang tidak pernah menginginkan namanya tercatat sebagai pahlawan kemerdekaan dan kebangkitan Nasional. Dan bukti paling otentik yang tidak bisa terbantahkan adalah peran Pondok Pesantren sebagai pusat pembelajatan tasawuf Islam dan Islam tasawuf dalam mengusir penjajah dan mengisi kemerdekaan dalam rangka membangkitkan Indonesia yang telah lama terpuruk. Bahkan hingga kini Pesantren adalah satu-satunya lembaga yang tetap eksis mempertahankan posisinya sebagai lembaga pendidikan yang memberikan konstribusi besar dalam kebangkitan Naisonal baik sektor formal maupun non formal. Itulah beberapa bukti kecil keberhasilan tasawuf dalam mempertahankan keutuhan, kesatuan dan martabat Negara.
Formalisasi hukum vs Moralitas hukum: Study kasus SBY
Dalam sejarah pemerintahan Indonesia belakangan ini ada beberapa gerakan politik yang lucu dan luput dari kesadaran kita dan analis. Setelah roda reformasi menggelinding meruntuhkan dinding kediktatoran Orde baru (ORBA) pemerintah terpilih berusaha memenuhi harapan rakyat untuk memberantas korupsi yang sudah merakyat dalam usahanya membangun Indonesia baru yang sejahtera dan aman. Tapi sayang usaha itu baru sebatas formalitas belum dapat mencabut akar dan pola politik ORBA sehingga tampilan dan gerakan politik pemerintah sekarang (dan selanjutnya) belum bisa memenuhi banyak harapan rakyat Indonesia.
Semangat pemberantasan korupsi dan kebangkitan nasional ala SBY memang tampak mencolok mata rakyat dengan dibentuknya berbagai badan dan departemen khusus bentukan presiden seperti KPK dan lainnya, tapi semua itu belum bisa meredam semangat korupsi pejabat. Justru yang terjadi sebaliknya semangat berkorupsi semakin merakyat dari tukang sapu jalan hingga tukang becak bahkan Kiyai banyak yang terjebak “korupsi” dengan santri dan rakyatnya? Paling tidak korupsi jam berjamaah dan waktu mengaji karena sibuk mengurusi partai dan kerjaan lainnya yang “berduit”.
Pemerintah juga terus berusaha membangun kesejahteraan hidup rakyat dengan membentuk beberapa tim ahli kepresidenan dalam bidang ekonomi dan badan-badan perekononmian dan lainnya. Usaha inipun bisa dikatakan gagal karena masih berdiri di atas kelompok dan ideologi lama, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pergantian tim sudah sering dilakukan dan tim pengawas ekonomi terus bertambah, hukum dan undang-undang selalu di amandemen tapi tetap saja mandul, Indonesia belum bangkit sebab masih terjerat hutang dan rakyat tetap kelaparan, sistim ekonomi dan politik tetap mencekik rakyat.
Dalam bidang hukum SBY juga tidak kalah galak dan tidak patah semangat untuk menegakan keadilan dan kesetaraan hukum bagi setiap warga Indonesia dan agar setia dan taat kepada hukum yang berlaku, seperti dibentuknya mahkamah konstitusi (MK) dan lainnya. Bahkan hampir setiap lini pemerintahan, kemasyarakatan dan departemen yang ada selalu dibuat peraturan dan undang-undang khusus bagi karyawan dan rakyat. Tapi lagi-lagi semua itu belum bisa memenuhi keinginan dan harapan rakyat dan pemerintah.
Dalam bidang pendidikan pemerintah juga mulai meningkatkan perhatiannya dengan mengawasi dana pendidikan nasional yang sejak beberapa dekade selalu “tersunat” di jalan bahkan banyak yang tidak sampai ke-sekolah bersangkutan yang mengakibatkan lemahnya mutu pendidikan nasional. Maka, dibentuklah tim khusus baik di Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama dengan menyesuaikan pemetaan wilayah pendidikan. Dan usaha inipun kelihatannya belum maksimal karena minimnya anggaran pendidikan, jauh di bawah dana politik yang terus menyengsarakan rakyat.
Begitu juga dengan departemen Sosial dan khususnya departemen luar negeri, perlindungan warga Negara di luar negeri dan lainnya semuanya belum bisa diawasi secara ketat oleh hukum dan belum bisa memberikan pelayanan yang maksimal. Faktor utama yang sesungguhnya mengantarkan Indonesia kepintu kebangkrutan dan ketidakwibawaan di mata internasional adalah KKN akibat hancurnya mental dan spiritual baik tingkat pejabat maupun rakyat. Sehingga seribu badan hukum yang kita buat tidak akan bisa merubah Indonesia untuk menjadi maju, sejahtera, aman dan bermartabat kalau menejemen internal pelakunya belum kita amandemen? Sehingga kebangkitan hanya akan menjadi keniscayaan. Dan semua menejemen “amandemen” kemanusiaan itu telah tertuang dalam doktrin klasik tasawuf dan ulama serta Kiyai Pesantren.
Belajar dari India kuno.
Mungkin kalau ada survai internasional tentang jumlah badan hukum, maka Indonesia akan menjadi Negara terkaya hukum dan undang-undang, karena hampir setiap langkah rakyat diawasi hukum, ada aturan berikut sangsinya. Mulai dari persoalan merokok dan parker di tepi jalan, tapi kenapa Indonesia tetap menjadi Negara yang terkorup, tertinggal, ugal-ugalan, perang saudara dan kericuhan lainnya yang menunjukan citra negara yang tidak berhukum. Kalaupun terjadi persidangan kasus juga masih belum membuat masyarakat puas, karena masih tebang pilih dalam istilah Gus Dur dan main mata.
Sesungguhnya kita sudah kebanjiran hukum bahkan hampir membuat rakyat takut hidup di Indonesia, kalau semua aturan dan undang-undang diimplementasikan secara konstitusional. Tapi sebaliknya justru Indonesia malah menjadi mainan masyarakat dan pilihan orang (koruptor) asing karena nikmat dan Indahnya hidup di Indonesia yang ringan hukumnya bahkan bisa dinego?
Karena itu sudah saatnya kita kembali belajar dari sejarah India Kuno yang pernah mencapai kemajuan, kesejahteraan, keadilan, kewibawaan dan kemandirian sebagai Negara yang bermartabat sehingga bisa membuktikan diri sebagai Negara yang kuat bahkan bisa menjadi contoh Negara lain, sekalipun miskin hukum dan undang-undang. Berikut adalah diskusi sejarah dua tokoh legendaries Alexander dan penguasa India, seperti yang dituturkan Al Mawardi dalam kitabnya Adab Al Dunya Wa Al Din:
“Alexander penguasa Mesir pernah dibuat kagum dan takjub dengan keberhasilan pemerintahan India dalam membangun negerinya, memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya sehingga menjadi Negara yang maju dan kuat hanya dengan beberapa departemen dan hukum atau undang-undang. Kemudian ia bertanya: Kenapa di Negara anda sedikit sekali Departemen dan undang-undangnya berbeda dengan Negara kami, tapi anda bisa maju dan mensejahterakan rakyat sehingga menjadi Negara yang bermartabat dan berdaulat? Mereka menjawab: Itu semua karena kami selalu menjalankan dan memberikan hak dan kewajiban kami kepada rakyat, pertama. Kedua, karena sifat adil, jujur dan bijak yang dimiliki penguasa kami. Lalu Alexander bertanya lagi: Lebih baik mana keberanian atau keadilan? Mereka menjawab: Jika kita mau bersikap adil dalam memimpin Negara, maka kita tidak butuh keberanian?”
Dialog dua penguasa itu jelas menjadi pelajaran bagi masyarakat dan pemerintah sekaligus menjadi bukti bahwa yang kita butuhkan sekarang dalam membangun Indonesia adalah keadilan, bukan keberanian seperti kritikan banyak orang bahwa SBY harus berani menangkap koruptor kelas kakap dan para propokator. Karena keberanian tanpa didasari sikap adil hanya akan menimbulkan efek negatif yang lebih besar. Benar kalau sekarang pemerintahan SBY belum berlaku adil karena masih tebang pilih.
***
Karena itulah pengembangan dan perbaikan menjemen mental dan spiritual saat ini jauh lebih penting daripada pengembangan menejemen politik formal seperti amandemen, penambahan badan pengawas dan lembaga lainnya. Karena hukum, badan pelaksana dan sangsi yang ada sudah lebih daripada cukup sebagai modal menjaga dan membangun Indonesia dan membangkitkannya, tinggal bagimana mental pelakunya. Siapa yang tidak takut dengan peran Mahkamah Agung sebagai lemabag hukum tertinggi di republik ini. Tapi apa jadinya Negara ini jika semua jaksa dan hakimnya bisa disuap, seperti kasus Jaksa Urip dengan Artalita Suryani? Begitu juga DPR sebagai lembaga tertinggi Negara yang seharusnya bisa memproduksi kebijakan yang berpihak kepada Negara dan rakyat, kini justru telah menjadi sarang “penyuapan” kelas tinggi.
Berangkat dari realita itu ada beberapa hal yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam pembangunan Indonesia.
Pertama, percepatan penataan pendidikan (Agama) agar semua pemeluk agama bisa menjalankan perintah dan keyakinan Agama masing-masing. Karena rendahnya perhatian pemerintah kepada pendidikan Agama (khsusnya Islam) telah melahirkan kekecewaan pemeluknya dan pementahan bahkan pendangkalan akidah sehingga dapat mejadikan masyarakat kurang memahami keyakinan dan ajarannya. Kalau keyakinan sudah hilang, maka orang akan mudah berbuat apa saja tanpa malu, takut dan merasa berdosa, termasuk korupsi. Karena pengamalan ajaran Agama masing-masing adalah kunci pertama perbaikan mental masyarakat dalam mengisi pembangunan.
Kedua, Pemimpin yang adil. Ia adalah hukum yang berbicara sementara Al Qur’an (juga lainnya) adalah hukum yang diam dan mati tidak bergerak. Sehingga dengan kekuatan dan kekuasaannya itulah Allah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada pemimpin daripada Al Qur’an. Sifat inilah yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah sebagai Al Qur’an hidup dalam menghadapi dinamika dan problematika sosial, etnis, suku dan Agama baik di Makkah maupun Madinah.
Ketiga, Keadilan yang mutlak sebagai modal utama suksesnya pembangunan Negara dan masyarakat yang beradab dan bermartabat. Ada beberapa faktor hilangnya keadilan di Indonesia: Pertama, sifat rakus yang menjangkiti hati para penguasa dan masyarakat, mereka menjadikan masa jabatannya sebagai kesempatan menumpuk kekayaan untuk bekal hidup dihari tua. Sifat dan pemikiran inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk berbuat apa saja. Kedua, hilangnya sifat malu. Sekarang banyak orang mengatakan kebenaran tapi juga tidak malu melakukan kesalahan. Berapa banyak hakim yang mengadili koruptor tapi ternyata ia juga melakukan kolusi dan nepotisme dengan terdakwa sehingga sama-sama masuk penjara. Dengan hilangnya sifat malu, maka orang tidak akan bisa berbuat adil. Karena rasa tidak malu bisa mendatangkan sifat-sifat buruk lainnya.
Keempat, Perlindungan dan keamanan yang menyeluruh bagi setiap masyarakat. Rasa aman dan perlindungan terhadap hak-hak warga Negara saat ini belum bisa dirasakan bangsa Indonesia baik dalam apalagi luar negeri. Kenyataan ini juga telah memicu instabilitas yang mengganggu percepatan pembangunan ekonomi dan politik internasional. Apalagi saat ini Indonesia masih minim peralatan pengamanan darat, laut dan udara bahkan tertinggal jauh dari Negara lain. Sehingga tidak dapat memberikan rasa aman, apalagi perlindungan yang diharapkan masyarakat juga para investor.
Kelima, Kesejahteraan dan kemakmuran hidup rakyat. Faktor hancurnya ekonomi dan politik Indonesia lebih disebabkan karena tidak terpenuhinya kesejahteraan dan kemakmuran hidup rakyat kecil. Hal ini lebih disebabkan karena faktor monopoli dan inkonsistensi pemerintah dalam mengimplemenatsikan hukum perdagangan dan ekonomi yang dapat mengganggu iklim investasi yang bisa mensejahterakan rakyat.
Epilog
Tidak adanya rasa aman, kesejahteraan, keadilan, ketegasan hukum bagi rakyat dan merosotnya mental masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi globalisasi ekonomi, pasar bebas dan tantangan politik luar negeri semua itulah faktor utama kehancuran Negara saat ini. Dan untuk mendapatkan semua itu harus didukung dengan konsentrasi pemerintah kepada pendidikan Agama (ahlak) bukan hanya pendidikan politik seperti yang selama ini terjadi. Dan beragama belum cukup tanpa mereaktualisasikan nilai-nilai sufisme (ahlak) dalam kehidupan sehari-hari, seperti pemahaman dan penerapan taubat, ikhlas, sabar, tawakal, ridla, takut kepada Allah SWT dan sifat-sifat lainnya yang bisa mendekatkan manusia kepada penciptanya. Karena sifat-sifat Rasulullah yang diajarkan dan diamalkan kaum tarekat hakekatnya adalah konsep pembangunan manusia dan kebangkitan dunia seutuhnya. Dengan mereaktualisasi semangat sufisme dalam bernegara berarti kita telah mampu mengamandemen menejemen moral bangsa dan rakyat, sehingga kita tidak lagi butuh amandemen dan menambah hukum atau undang-undang, kecuali jika tuntutan keadaan bukan kepentingan. Maka, bangkitlah Indonesiaku, semoga.
* Pembina Pon. Pes Al Hikmah 2 (Benda-Sirampog-Brebes)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar